Indonesia memiliki potensi produk hasil hutan berupa kayu dan rotan yang
sangat besar. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus
mendorong hilirisasi produk hasil hutan untuk meningkatkan nilai tambah
dan multiplier effect bagi perekonomian.
“Peningkatan nilai tambah produk
hasil hutan melalui hilirisasi akan mampu membuka lebih banyak lapangan kerja,
meningkatkan ekspor, menghasilkan devisa, meningkatkan pendapatan negara, serta
mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin,
Putu Juli Ardika menyampaikan di Jakarta, Jumat (1/9).
Berdasarkan data The State of Indonesia’s Forests (SOIFO) dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini Indonesia memiliki luas kawasan
hutan dan kawasan konservasi perairan seluas 125,8 juta Hektare, atau mencakup
sekitar 62,97% dari luas daratan Indonesia, dan saat ini menjadi yang terbesar
ke-8 di dunia. Dari luas tersebut, hutan yang dapat diusahakan untuk kegiatan
ekonomi mencapai 68,8 juta Hektare.
Hutan
Indonesia memiliki dua komoditas, yaitu kayu dan non-kayu. Menurut data BPS
(2021),produksi kayu bulat Indonesia sebesar 64 Juta meter kubik. Indonesia
juga merupakan penghasil 80% bahan baku rotan dunia. Daerah penghasil rotan di
Indonesia berada di berbagai pulau, terutama di Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumatera. “Hal ini menjadikan hutan sebagai sumber daya yang memiliki arti
penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan, bahkan dapat menentukan posisi geopolitik Indonesia pada tataran
global,” ujar Putu.
Pengembangan industri hilir berbasis hasil hutan didukung dengan
kebijakan larangan ekspor kayu bulat dan rotan mentah. Pada dekade 1970-an
Indonesia masih melakukan ekspor bahan baku dari hutan alam. Kemudian, pada
dekade 1980-an hilirisasi komoditas kehutanan mulai dilakukan dengan produksi
dan ekspor kayu lapis. Hingga saat ini, komoditas hutan Indonesia telah
menghasilkan produk-produk kualitas ekspor, di antaranya woodworking (kayu
gergajian, komponen bangunan, bangunan prefabrikasi), panel (veneer, kayu
lapis, barecore, Medium Density Fiberboard (MDF)), kayu laminasi, pelet kayu (wood
pellet), furnitur, pulp, kertas, serta viscose yang merupakan bahan baku
untuk produksi benang rayon.
Saat ini, hilirisasi industri kayu olahan yang sedang berkembang adalah
industri pelet kayu yang berbahan baku dari serbuk kayu, baik dari kayu
berkalori tinggi maupun dari limbah serbuk kayu atau biomass.
Aktivitas ini juga merupakan bagian dari penerapan circular economy.
Industri pelet kayu (KBLI 16295) menunjang transformasi energi berbasis fosil
menuju Energi Baru Terbarukan (EBT). Industri ini juga telah disetujui untuk
mendapatkan fasilitas tax allowance.
Kayu atau chip kayu memiliki produk hilir dengan
diversifikasi cukup luas, salah satunya pulp dan kertas. Industri pulp dan
kertas Indonesia dapat memproduksi hampir semua jenis kertas, mulai dari kertas
budaya, kertas berharga, kertas khusus, kertas industri, kertas lainnya, dan
barang-barang dari kertas.
Putu mengungkapkan, saat ini sedang dibangun industri paperboard dengan
kapasitas terpasang 1,2 juta ton/tahun, yang akan ikut memasok kebutuhan containerboard dunia
yang mencapai 192 juta ton, dengan 49,5% atau 95 juta ton kebutuhan di
antaranya berasal dari Asia. Pembangunan tersebut diperkirakan selesai pada
triwulan IV Tahun 2023 dengan realisasi total nilai investasi sebesar Rp33,4
Triliun. Selain itu, saat ini juga sedang dilakukan investasi kemasan aseptik
yang merupakan produk hilir dari paperboard dengan nilai
investasi sekitar USD200 juta atau Rp3 Triliun.
Saat ini, industri pulp berbasis kayu telah menghasilkan inovasi
hilirisasi produk berupa serat rayon viscose. Kapasitas terpasang industri
rayon sebesar 300 ribu ton/tahun dan direncanakan untuk diperluas menjadi 600
ribu ton/tahun. “Produksi rayon tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku
rayon bagi industri turunannya sebagai substitusi terhadap impor kapas dan juga
mendorong multiplier effect yang lebih besar bagi Indonesia,”
imbuh Putu.
Kinerja industri hilir berbasis hasil hutan dapat dilihat dari variabel
nilai ekspor, serapan tenaga kerja, dan pertumbuhan investasi. Pada tahun 2022,
kinerja ekspor industri hilir berbasis hasil hutan mencapai USD15 Miliar,
dengan impor senilai USD4,68 Miliar. Di sisi ketenagakerjaan, tercatat sebanyak
2,83 juta orang tenaga kerja terlibat di industri berbasis hasil hutan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka tenaga kerja tersebut meningkat
jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di industri tersebut tahun 2015
dan 2019, berturut-turut sejumlah 543 ribu dan 2,76 juta orang.
“Selain itu, di sisi investasi
juga terjadi peningkatan untuk industri hilir berbasis hasil hutan sejak
2015-2022. Pada tahun 2015, investasi industri hilir berbasis hasil hutan
sebesar Rp16,5 Triliun, dan meningkat signifikan menjadi Rp43,97 Triliun pada
2022,” ungkap Putu.
Ia memaparkan, ke depan, pengembangan hilirisasi industri berbasis hasil hutan
akan diarahkan pada komoditas yang produksinya memperhatikan kaidah-kaidah
kelestarian lingkungan, antara lain bersumber dari bahan baku lestari,
penerapan circular economy, berperan dalam penurunan emisi gas
rumah kaca, dan memiliki eco-design yang sesuai dengan tren
pasar. “Sejauh ini sebagian besar produk-produk industri hilir berbasis hasil
hutan Indonesia telah menerapkan prinsip-prinsip di atas, seiring
tingginya environmental awareness dari konsumen negara tujuan
ekspor,” pungkas Putu.
Demikian Siaran Pers ini untuk
disebarluaskan.