Gambar 1 : skema Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS)
Oleh : Arief Aditriandi M (Pembina Industri Kemenperin)
Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) adalah tren baru dalam transisi energi untuk mencapai tujuan global Net Zero Emission (NZE). Secara sederhana, melalui teknologi CCS/CCUS, karbon dioksida (CO2) dari bahan bakar fosil maupun dari limbah hasil pembakarannya dapat ditangkap kembali untuk kemudian disimpan di bawah tanah. Implementasi CCS/CCUS di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan produksi migas sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut Roadmap IEA untuk NZE tahun 2050 di sektor energi, teknologi CCUS akan berkontribusi lebih dari 10% dari total pengurangan emisi global pada tahun 2050. Untuk Asia Tenggara, untuk mencapai tujuan Paris Agreement, kebutuhan CCS/CCUS di Asia Tenggara mencapai 35 juta tCO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 juta tCO2 pada tahun 2050.
Norwegia adalah salah satu negara maju yang
memberlakukan pajak karbon yang mahal, yang mendorong perusahaan untuk
menggunakan teknologi ini untuk menekan emisi mereka. Sementara Indonesia tidak
memberlakukan pajak karbon yang tinggi, harus mencari solusi untuk mendorong
perusahaan untuk melakukan CCS-CCUS.
Gambar 2 : rencana implementasi CCS/CCUS di Indonesia
Rencana implementasi CCS/CCUS ini tidak terlepas dari
tingginya emisi GRK di Indonesia. Salah satu komitmen global untuk menghentikan
laju pemanasan global adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia
telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan
sampai dengan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk mengurangi
emisi, rekor kenaikan teratur dicatat. Pada 2019, penurunan emisi mencapai 54,8
juta ton dari target 51 juta ton. Tahun 2020, penurunan menjadi 58 juta ton,
dengan realisasi 64,4 juta ton. Tahun 2021, penurunan menjadi 67 juta ton,
dengan realisasi 70 juta ton. Terakhir, pada tahun 2022, penurunan emisi
sebesar 91 juta ton dicapai, dengan realisasi 91,5 juta ton.
Gambar 3 : emisi GRK di Indonesia berdasarkan sektor
Dari gambar dapat dilihat bahwa emisi GRK paling
banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik, disusul oleh transportasi dan
industri. Sepeda motor menyumbang 41% energi yang dikonsumsi subsektor
transportasi ini. Persentase energi yang digunakan oleh sepeda motor
diperkirakan akan menurun karena program angkutan massal perkotaan seperti MRT,
LRT, dan KRL semakin berkembang. Dekarbonisasi di industri sektor dapat
dikurangi dengan beralih dari pembangkit listrik dari batu bara dan solar ke
pembangkit listrik dari gas dan Energi
Baru dan Terbarukan.
Gambar 4 : regulasi mengenai mitigasi dan monetasi
karbon di Indonesia
Selain peraturan diatas, Kementerian ESDM telah
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 yang mengatur
penggunaan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon pada kegiatan usaha hulu migas.
Pemerintah berusaha mewujudkan sektor migas yang mengurangi emisi dan
meningkatkan produksi migas melalui penetapan undang-undang yang ditandatangani
pada 2 Maret 2023.
Fakta bahwa Indonesia memiliki formasi geologis yang
memungkinkan penyimpanan emisi karbon secara permanen melalui penggunaan teknologi
dalam kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon serta kegiatan penangkapan,
pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Oleh karena itu, aturan ini
akan membantu Indonesia mencapai tujuan komitmen nasional untuk penanganan
perubahan iklim global, sesuai dengan tujuan Persetujuan Paris atas Konvensi
Kerja.
Terdapat empat fokus yang digariskan dalam Permen ini
untuk pelaksanaan CCS/CCUS pada wilayah kerja hulu migas: aspek teknis,
skenario bisnis, aspek hukum, dan aspek ekonomi. Dua hal penting terkait aspek
teknis adalah penerimaan, transportasi, injeksi, penyimpanan, dan monitoring
pengukuran, laporan, dan verifikasi. Kedua, sesuai dengan karakteristik lokasi
masing-masing, gunakan protokol keteknikan yang baik. Mengenai skenario bisnis,
dinyatakan bahwa sumber CO2 dapat berasal dari migas dan industri lain
(khususnya CCUS) melalui mekanisme B to B dengan kontraktor wilayah kerja
migas.
Dalam aspek hukum, usulan kegiatan CCS/CCUS oleh KKKS
harus dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan (PoD), dan monitoring harus
dilakukan sampai dengan sepuluh tahun setelah penutupan kegiatan CCS/CCUS. Ada
juga peraturan mengenai pengalihan tanggung jawab ke Pemerintah, dan
sebagainya.
Terakhir, aspek ekonomi yang mengatur pendanaan pihak
lain, kemungkinan monetisasi kredit karbon sesuai dengan Peraturan Presiden
Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk
Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian
Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, dan pertimbangan potensi hasil
monetisasi penyelenggaraan CCS/CCUS.
Diperlukan sinergitas antar K/L untuk mengurangi emisi
di Indonesia. Seperti yang terlihat di gambar di bawah, Kementerian ESDM fokus
untuk menanggunglangi pengurangan Co2, Kementerian Keuangan mengatur peraturan
terkait Carbon Tax dan Carbon Trading, BKPM meregulasi terkait
investasi luar negeri dan prosedur bisnis investasi perusahaan yang ingin
berinvetasi dalam pengurangan emisi carbon. Kementerian LHK dan Kemlu mengatur
tentang monitoring dan evaluasi terkait regulasi lingkungan dan skema kerja
sama perdagangan karbon dengan negara
lain, sedangkan Kemendag dan Kemenperin mengatur tentang ijin impor karbon dan
emisi Co2 di perusahaan-perusahaan industri.
Gambar 5 : sinergitas antar K/L untuk mendukung
pengurangan emisi GRK di Indonesia