Oleh
: Laudetta DF (Ditjen Industri Agro)
Indonesia
adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah dan juga kaya akan
bahan pangan dan minuman yang berkualitas tinggi, seperti minyak kelapa sawit,
kakao, kopi, dan bahan-bahan eksotis seperti rempah-rempah. Sejarah dan lokasi
geografis Indonesia yang strategis menjadikan Indonesia sebagai persimpangan
budaya, masyarakat, dan perdagangan selama berabad-abad silam. Kekhususan yang
dimiliki tersebut Sehingga menjadikan Indonesia saat ini memiliki kekayaan
kuliner yang sangat beraneka ragam, yang membedakan produk makanan minuman nya
nya dengan produk makanan minuman dan kuliner dari negara lain.
Dari
sisi permintaan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar
keempat dunia dengan jumlah penduduk mencapai 275 juta jiwa, dengan 55 juta
jiwa di antaranya merupakan kelas menengah-atas, tentunya memiliki potensi
pasar yang sangat besar. Jumlah penduduk yang besar seiring dengan terus
meningkatnya pendapatan per kapita, pertumbuhan kelas menengah, dan
transformasi gaya hidup masyarakat yang semakin aktif dan dinamis akan mendorong
permintaan produk makanan dan minuman di masa mendatang.
McKinsey
memperkirakan bahwa pada tahun 2030, konsumen makanan dan minuman Indonesia
akan bertambah sebanyak 90 juta orang, dan pengeluaran untuk makanan dan
minuman akan meningkat lebih dari 5% setiap tahunnya. Sehingga pada tahun 2030,
proyeksi pengeluaran untuk makanan dan minuman diperkirakan mencapai USD 194
Miliar.
Industri
pengolahan berbasis agro merupakan mesin pertumbuhan industri nonmigas karena
didukung oleh sumber daya alam yang melimpah dan permintaan dalam negeri yang
terus meningkat. Saat ini, industri pengolahan berbasis agro masih menunjukkan
ketahanannya dengan tumbuh 2,97% pada kuartal I tahun 2023. Pada periode yang
sama, industri pengolahan berbasis agro memberikan kontribusi sebesar 50,20%
terhadap PDB industri non migas sehingga menjadi subsektor dengan kontribusi
PDB terbesar di Indonesia.
Di
Indonesia, industri pengolahan berbasis agro meliputi industri pengolahan
makanan dan minuman, industri hasil hutan dan perkebunan, industri hasil
pengolahan tembakau dan bahan penyegar. Dalam tiap industri ini, terdapat
aturan terkait standarisasi yang dikenakan pada hasil produksinya. Hal ini
dikarenakan, produk hasil industri pengolahan berbasis agro adalah produk yang
beredar secara luas dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh
masyarakat.
Industri
makanan dan minuman adalah salah satu industri yang terikat dengan aturan
pemenuhan standar hasil manufakturnya. Industri ini sangat ketat dalam
menegakkan keamanan pangan dan standar lainnya. Secara umum, industri makanan
dan minuman di Indonesia mematuhi standar yang berlaku. Hingga kini, hanya
ditemukan beberapa isu terkait kepatuhan dalam keamanan pangan yang biasanya
terjadi dalam Industri skala kecil. Kepatuhan terhadap standar dalam produksi
makanan adalah tantangan untuk perusahaan yang memproduksi makanan dan minuman
olahan. Untuk memastikan keamanan produk dalam semua proses, berbagai pedoman
dan undang-undang harus diadopsi dan diintegrasikan. Pemerintah saat ini telah
memfasilitasi perizinan berusaha secara daring dimana pelaku usaha dapat
mendeklarasikan standar yang telah diadopsi. Semua ini dilakukan melalui
platform digital seperti Online Single Submission atau OSS untuk memudahkan
pelaku usaha dalam mengajukan izin usaha.
Digitalisasi
ini memudahkan perusahaan untuk dapat mendokumentasikan semua bukti persyaratan
dalam memenuhi standar yang berlaku karena semua kegiatan operasional dapat
tercatat dengan rapi, efisien dan akuntabel. Dengan demikian, pelaku usaha
dapat dengan cepat memberikan bukti dokumen kepatuhan standar dan bahkan dapat
melakukan keterlacakan dengan cepat jika terjadi kasus terhadap standar yang
berlaku. Secara keseluruhan, solusi digital membantu memastikan bahwa makanan
aman dan memenuhi standar yang relevan, sekaligus membuat prosesnya menjadi
lebih efisien dan efektif.
Pengenaan
aturan standarisasi industri ini tidak terbatas pada industri makanan dan minuman.
Industri pengolahan berbasis agro lain pun harus memenuhi sejumlah aturan dan
standar yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian. Terkait hal ini, selain
memberikan fasilitas platform digital untuk pemenuhan standar dan perizinan,
Kementerian Perindustrian khususnya Direktorat Jenderal Industri Agro selaku
pembina industrinya memberikan fasilitas berupa sosialisasi aturan dan
standarisasi industri untuk para pelaku industri. Sosialisasi yang diberikan
adalah sosialisasi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2022 yang
berkaitan dengan standarisasi produk dan smart regulation. Secara umum
peraturan ini mencakup segala aturan dan tata laksana yang berkaitan dengan
proses industri dan tantangan global yang mengiringinya. Pelaksanaan sosialisasi
ini dilakukan dalam upaya menjangkau akses pasar terdapat beberapa tantangan
global seperti isu K3L, standarisasi (produk, GMP dll), regulasi teknis dan
smart regulation.
Pertumbuhan
industri agro diharapkan untuk terus bergerak naik, oleh karenanya diharapkan
adanya penerapan standarisasi untuk produk industri ini akan meningkatkan daya
saing, menjamin mutu produk, dan membuka kesempatan dalam mencapai akses pasar.
Terdapat
beberapa SNI wajib yang dikenakan pada produk industri agro, diantaranya:
1.
Kertas dan karton untuk kemasan pangan (SNI 8218:2015)
2.
Gula kristal rafinasi (SNI 01-3140.2:2011)
3.
Tepung terigu sebagai bahan makanan (SNI 3751:2018)
4.
Minyak goreng sawit (SNI 7709:2019)
5.
Kakao bubuk (SNI 3747:2013)
6.
Kopi instan (SNI 2983:2014)
7.
Air mineral (SNI 3553:2015)
8.
Air minum embun (SNI 7812:2013)
9.
Air mineral alami (SNI 6242:2015)
10.
Air demineral (SNI 6241:2015)
Hingga
saat ini, terdapat penyusunan SNI 2022 yang sedang dalam proses, yaitu:
1.
SNI Kertas Sigaret (masih akan diagendakan rapat antara industri dengan
pembina)
2.
SNI Pati Jagung (dari LHU sampel pati jagung, pemberlakuan SNI wajib siap
diberlakukan)
3.
SNI Fruktosa (panitia baru akan menyusun Rpermenperin dan Regulatory Impact
Analysis (RIA)
Pada
tahun 2023 ini, terdapat rencana penyusunan SNI untuk produk industri agro,
yaitu:
1.
SNI Nugget ayam (revisi SNI 6683:2014)
2.
SNI Sosis daging (revisi SNI 3820:2015)
3.
SNI Kornet daging (revisi SNI 3775:2015)
4.
SNI Air mineral (revisi SNI 3553:2015)
5.
SNI Yogurt (revisi SNI 2981:2009)
6.
SNI Minuman teh (revisi SNI 3143:2011)
Pengawasan
SNI wajib di Ditjen Industri Agro sebagian dilakukan dengan mekanisme
pengawasan langsung dan sebagian lagi dilakukan oleh BSKJI. Hal ini dilakukan
karena meski fungsi pengawasan merupakan tupoksi dari BSKJI, Kemenperin
berkewajiban menyusun kajian terkait pengawasan penerapan SNI wajib ini.
Berdasarkan Permenperin 45/2022, Kepala BSKJI berkoordinasi dengan Dirjen
Pembina Industri dalam melaksanakan pengawasan SNI wajib pada pelaku industri.
Penerapan
standarisasi produk dengan SNI wajib ini diharapkan dapat membantu mengatasi
kendala hambatan ekspor yang dialami oleh produk agro. Selama ini terdapat
beberapa hambatan ekspor terkait kandungan bahan dalam produk agro maupun
kandungan nilai kontaminasinya, seperti Aflatoksin (dalam pala dan jagung),
Cadmium (produk kakao untuk masuk ke pasar Eropa), pestisida (Batas Maksimum
Residu/BMR dalam ekspor teh Indonesia), dan Etilen Oksida (pada bubuk cabe di
produk mie instan yang melebihi kadar normal).
Perumusan
standar bidang industri terbagi menjadi 3 yaitu: SNI, ST, dan PTC. Penerapan
dan pemberlakuan standar bidang industri terdiri dari 2 jenis, yaitu sukarela
dan wajib.
Penerapan
standar bidang industri sukarela:
SNI : dilakukan oleh Perusahaan Industri
terhadap barang dan/atau jasa industri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
PTC : dilakukan oleh Perusahaan Industri,
sesuai dengan ketentuan mengenai penetapan PTC yang ditetapkan oleh Menteri
Pemberlakuan
standar bidang industri wajib seperti SNI/ST dilakukan untuk:
a.
Keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan;
b.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.
Persaingan usaha yang sehat;
d.
Peningkatan daya saing; dan/atau
e.
Peningkatan efisiensi dan kinerja Industri.
PTC
berlaku terhadap barang dan/atau jasa Industri hasil produksi dalam negeri
dan/atau impor yang dipasarkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan/atau jasa Industri yang proses kegiatannya dilakukan di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengurusan
pemenuhan standarisasi industri dilakukan oleh Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK).
LPK terdiri dari 3 lembaga yakni LSPRO, laboratorium uji, dan lembaga inspeksi.
LPK yang mendaftarkan diri melalui SIINas dan lolos serangkaian penilaian akan
ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. LPK inilah yang menjadi penilai
kesesuaian pelaku industri untuk melakukan sertifikasi (sertifikat kesesuaian
dan sertifikat SNI).
Pelaku
industri yang ingin melakukan sertifikasi perlu mendaftarkan pengajuan melalui
SIINas dan setelah melewati proses verifikasi dan uji maka sertifikat akan
dikeluarkan. Setelah mendapatkan sertifikat ini, pelaku industri masih perlu
mengajukan permohonan penggunaan tanda SNI/Kesesuaian. Permohonan penggunaan
tanda sertifikat ini dilakukan melalui SIINas.
Pelaksanaan
kepatuhan terhadap aturan standarisasi ini dapat dilihat dari hasil pengawasan
dan pengecekan yang dilakukan oleh LPK secara berkala (minimal 1 tahun sekali)
dan khusus ketika ada instruksi dari Kepala Badan maupun saat ada aduan dari
pelaku industri, instansi terkait dan masyarakat. Pengawasan LPK dilakukan oleh
Kepala Badan melalui Pegawai Pengawas Standar Industri (P2SI) secara berkala
tiap 3 bulan. P2SI terdiri dari unsur Kementerian Perindustrian dan
Pemda/Pemkab/Pemkot bidang perindustrian. P2SI melaksanakan pengawasan terhadap
penerapan SNI secara sukarela dan pemberlakuan SNI, ST, dan/atau PTC secara
wajib di pabrik dan/atau di pasar. Hasil pengawasan dilaporkan pada Menteri
untuk ditentukan kesesuaiannya apakah memenuhi aturan atau tidak.
Beberapa
fungsi pengawasan yang telah dilakukan contohnya dilakukan sampling untuk
beberapa produk agro di area pelabuhan DKI, Lampung, Riau, beberapa produk
tersebut diantaranya produk kopi instan, kakao bubuk (Jawa Barat dan Jawa
Tengah) diketahui terdapat parameter yang tidak sesuai di 2 Provinsi ini,
tepung terigu (DKI, Jatim, Lampung, Sumut, Kep. Riau) terdapat 4 merk yang
tidak sesuai dengan SNI. Tahun 2022 terdapat impor produk agro yang tinggi
untuk 3 jenis produk tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan
terhadap peredarannya.
Selain
memberikan fungsi pembinaan dan pengawasan, perlu dilakukan pengembangan
standarisasi industri. Pengembangan standarisasi industri dilakukan dalam
rangka perencanaan, perumusan, penetapan, dan pemeliharaan Standardisasi
Industri. Dalam rangka pengembangan standarisasi industri ini, Menteri Perindustrian
melakukan Kerja Sama Standardisasi Industri. Kerja sama ini terdiri dari kerja
sama di bidang teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa
Industri, penerapan standar Industri, dan standar internasional untuk
disesuaikan dengan tingkat perlindungan, perbedaan iklim, lingkungan, geologi,
geografis, atau kemampuan teknologi.
Diadakannya
sosialisasi terkait standarisasi industri ini diharapkan dapat memberikan
pencerahan bagi para pelaku usaha. Sosialisasi dalam rangka penyampaian
informasi aturan akan dilakukan secara kontinyu dengan mempertimbangkan
kesesuaian pelaksanaan di sektor manufaktur dan munculnya isu-isu di bidang
standarisasi. Isu-isu yang muncul tersebut antara lain terkait informasi cara
mendapatkan SNI untuk produk jadi dari bahan baku limbah B3 (contohnya limbah
B3 Gliserin untuk bahan baku aspal), implikasi aturan Permendag/2021 terkait
terbitnya Permenperin 45/2022, penggunaan stiker SNI yang lama ketika ada
pemberlakuan aturan SNI terbaru terkait pemanfaatan sisa stiker dan pencetak
pada kemasan yang masih tersisa, pengenaan SNI secara sukarela bukan
pemberlakuan secara wajib jika industri telah memenuhi aturan standarisasi lain
(contohnya industri furnitur dan kayu yang telah memenuhi aturan standarisasi
bahan baku kayu dan memiliki SLVK, standarisasi terkait produk pengolahan dan
pengkalengan ikan apabila industri ini telah memenuhi standar Codex yang
merupakan standarisasi untuk pengkalengan ikan secara internasional) dan lain-lain.
Pada
akhirnya, pembuatan dan pemberlakuan aturan terkait standarisasi industri ini
dilakukan pemerintah demi kebaikan dan kemajuan bersama. Pemerintah selaku
pembuat kebijakan berperan untuk memastikan keamanan dan ketersediaan produk
bagi masyarakat. Di sisi lain, pemberkauan standarisasi industri ini demi
memastikan kualitas hasil manufaktur industri Indonesia sehingga produk
industri dapat berkembang dan bersaing baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.