Oleh : Hamid Rizali Siregar (Pembina Industri Ahli Muda – Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian)
Sagu
merupakan komoditas yang tersebar melimpah di Indonesia yang pemanfaatannya
masih jauh dari optimal. Hampir seluruh bagian tanaman sagu dapat diolah lebih
lanjut menjadi produk turunannya. Setidaknya terdapat 4 (empat) bagian tanaman
sagu yang dapat dimanfaatkan yaitu bagian daun, pelepah, batang dan empulur. Daun
dan pelepahnya dapat dimanfaatkan menjadi atap dan bahan bangunan oleh
masyarakat sekitar, sedangkan batangnya dijadikan kayu bakar dan bahan
bangunan. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian empulurnya atau
bagian dalam batang sagu. Serat dan pati merupakan komponen terbanyak dari
empulur yang biasanya dimanfaatkan. Pati merupakan komponen utama yang memiliki
nilai tinggi dari tanaman sagu, sedangkan hasil sisa olahannya berupa serat
biasanya dimanfaatkan menjadi pakan ternak, media tanam, hardboard atau biomass.
Dalam proses pengambilan pati, digunakan air sebagai pencucian dan pembersihan,
air limbah tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan lebih lanjut sebagai pupuk
atau biogas.
Pati
sagu dapat diproses menjadi produk makanan minuman, bahan kimia atau bahan
bakar nabati. Produk olahan turunan yang sudah lazim ditemui di pasar Indonesia
adalah produk makanan minuman seperti beras analog, mie, pasta, biskuit,
brownies dan produk makanan olahan lainnya.
Gambar 1. Pohon Industri
Sagu
Sagu yang Kaya manfaat
Sebagai
panganan yang bisa bisa disejajarkan dengan beras, jagung dan sumber
karbohidrat lainnya, keberadaan sagu masih kurang dikenal dan diminati oleh
masyarakat. Jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya, sesungguhnya
sagu memiliki keunggulan fungsional yang sangat menarik. Salah satu keunggulan
sagu adalah kandungan gula dalam sagu yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan sumber karbohidrat lainnya. Gula darah sering dikaitkan dengan penyakit
yang sering diderita oleh masyarakat seperti diabetes.
Tabel 1. Top 10 negara dengan penderita diabetes (20–79
tahun) terbanyak pada Tahun 2021 dan 2045 Sumber : IDF Diabetes Atlas 2021 |
Indikator
yang biasa digunakan untuk melihat tingkat resiko kandungan gula pada suatu
makanan adalah dengan Indeks Glikemik (IG). Indeks glikemik merupakan suatu
ukuran yang digunakan untuk mengindikasikan seberapa cepat karbohidrat yang
terdapat dalam makanan dapat diubah menjadi gula oleh tubuh manusia. Perbandingan GI pada beberapa jenis makanan
dapat dilihat pada Tabel 1. Dari table tersebut dapat dilihat bahwa sagu
memiliki GI yang relatif rendah jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat
lainnya.
Tabel 1.
Perbandingan Glycemic Index dari beberapa jenis makanan
No |
Jenis
Makanan |
Glycemic
Index |
Sumber |
Beras Analog Sagu (100%) |
40,7 |
1) |
|
2 |
Bubur Sagu |
48 |
2) |
3 |
Beras |
70 |
3) |
4 |
Beras
Merah |
55 |
3) |
5 |
Basmati
Rice |
50 |
3) |
6 |
Sticky
rice |
90 |
3) |
7 |
Tepung
Beras |
95 |
3) |
8 |
Mie
Beras |
65 |
3) |
9 |
Tepung
jagung |
70 |
3) |
10 |
Gandum |
59 |
3) |
11 |
Sorghum |
70 |
3) |
12 |
Pisang |
48 |
3) |
13 |
Ubi |
70 |
3) |
14 |
Kentang |
70 |
3) |
15 |
Singkong |
55 |
3) |
16 |
Tapioka |
85 |
3) |
Dari
table tersebut terlihat, apabila kita makan nasi dari beras padi sebanyak 100
gram, dalam empat jam Indeks Glikemik-nya skitar 70. Sedangkan kalau kita makan
nasi dari beras sagu sebanyak 100 gram, dalam empat jam Indeks Glikemik-nya 40
sampai 48 saja. Dengan demikian, perubahan karbohidrat menjadi gula pada
konsumsi sagu relatif lebih lambat dari jenis pangan lainnya sehingga berguna
untuk mengontrol kadar gula dalam darah.
Uji
klinis oleh BPPT bersama Universitas Gajah Mada pernah dilakukan terhadap para
relawan yang riskan mengidap diabetes dengan kadar glukosa darah puasa 100- 125
mg/dL dan kadar glukosa 2 jam 140-199 mg/dL. Para relawan kemudian mengonsumsi
nasi sagu setiap hari. Adapun lauknya bebas kecuali lauk yang mengandung
karbohidrat seperti mi, perkedel, kerupuk dan sebagainya. Selanjutnya setiap
minggu sampel darah diambil untuk dianalisa kadar glukosa, kadar kolesterol,
dan trigleseridanya. Hasilnya glukosa
darah puasa para relawan menurun sebesar 10%, sedangkan kolesterolnya yang
semula 212 mg/dL menjadi 200mg/dL dan trigleseridanya yang semula 160 mg/dL
menjadi 131 mg/dL.
Selain
itu, tepung sagu juga termasuk jenis tepung yang bebas Gluten. Gluten sering
diasosiasikan dengan penderita alergi, gangguan pencernaan, hingga auto-imun.
Sagu juga mengandung antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas di
tubuh, mencegah penyakit kronis seperti kanker.
Potensi
sebagai Pangan Fungsional
Pasca
pandemi covid-19, masyarakat menjadi menyadari pola hidup yang mengedepankan
kualitas kesehatan, termasuk produk makanan minuman yang dikonsumsinya. Trend
tersebut menjadikan pangan fungsional menjadi lebih dikenal oleh masyarakat.
Jenis makanan dan minuman ini tidak hanya memberikan kenikmatan dan gizi bagi
konsumen tetapi juga memberikan nilai tambah lebih bagi kesehatan. Dengan
keunggulan yang dimiliki sagu, maka sagu dan produk turunannya memiliki
fungsionalitas lebih dari sumber karbohidrat lainnya, yang tentunya juga
memberikan nilai tambah kepada produk-produknya.
Saat
ini produk berbasis sagu di dalam negeri sudah mulai bermunculan. Setidaknya
terdapat 28 pabrik yang beroperasi di Indonesia dengan kapasitas produksi
hingga 9,9 juta ton/tahun. Beberapa industri sudah berinovasi dengan produk
yang menarik bagi konsumen, seperti beras sagu, mie instant berbasis sagu,
pasta sagu, biskuit, dan olahan makanan lainnya. Untuk menarik perhatian
konsumen, para produsen seringkali memberikan label tambahan terkait
fungsionalitas atau nilai tambah terkait manfaat terhadap kesehatan dari sagu,
seperti “Gluten Free”, “Low GI”, “High Resistant Starch”
dan lain-lain.
Dari
segi ekspor, sagu ternyata telah lama menjadi komoditas ekspor, walaupun
nilainya masih relatif kecil. Tercatat ekspor sagu berupa tepung sagu pada Tahun
2021 sebesar USD 0,8 juta dan meningkat pada Tahun 2022 menjadi sebesar USD 2,4
juta. Negara tujuan utama ekspor sagu adalah Malaysia. Ekspor ini kemungkinan
besar terkait dengan pemanfaatan sagu sebagai produk substitusi sumber
karbohidrat seperti beras atau gandum serta untuk pangan fungsional.
Melihat
data tersebut tentunya sangatlah disayangkan jika potensi sagu dengan luasan
lahan sekitar 5,5 juta Ha, justru nantinya lebih banyak dimanfaatkan oleh
negara lain. Pengembangan sagu sebagai makanan olahan sangat strategis untuk diarahkan
sebagai pangan fungsional karena selain sebagai sumber pangan utama masyarakat,
sagu juga bisa memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat, khususnya untuk
mengontrol pertumbuhan kasus diabetes.
Diperlukan
dukungan kebijakan
Dengan
melihat potensi pengembangan sagu sebagai pangan fungsional, maka diperlukan
kebijakan yang riil untuk mendorong perkembangannya. Yang pertama, kebijakan
terkait peningkatan permintaan produk sagu dalam negeri. Kepopuleran produk
sagu masih jauh tertinggal dari produk substitusinya seperti produk berbasis
beras dan gandum. Untuk mempopulerkan
sagu maka diperlukan sebuah kampanye makan sagu dengan mengangkat
fungsionalitas dari sagu dan menampilkan inovasi-inovasi produk yang sudah
dikembangkan. Masyarakat perlu diedukasi akan pentingnya diversifikasi pangan
dan kekayaan pangan lokal. Selain itu, produk sagu yang merupakan produk dalam
negeri juga bisa memanfaatkan Program Peningkatan Produk Dalam Negeri dengan
mengoptimalkan pada belanja pemerintah. Beberapa produk sagu seperti beras
analog dan mie instant berpotensi untuk dimasukkan pada belanja pemerintah
seperti penyediaan bantuan sosial atau bantuan makanan tambahan bagi penderita
diabetes di unit Kesehatan pemerintah. Lebih jauh lagi, sagu juga bisa dipertimbangkan
untuk masuk menjadi salah satu komoditas barang kebutuhan pokok sebagai salah
satu sumber karbohidrat bagi masyarakat.
Dari
sisi supply diperlukan kebijakan untuk memperkuat daya saing industri sagu yang
terintegrasi dari hulu-hilir. Untuk menjalankan kebijakan ini diperlukan
kolaborasi berbagai pihak untuk memperbaiki tata kelola di hilir, R&D
teknologi pengolahan dan hilirisasi produk berbasis tanaman sagu, serta
menyediakan insentif bagi industri agar dapat mengakselerasi pengembangan
industri sagu.
Referensi
1) Wahjuningsih,
Sri & Marsono, Yustinus & Praseptiangga, Danar & Haryanto, Bambang.
(2016). Resistant Starch Content and Glycaemic Index of Sago (Metroxylon spp.)
Starch and Red Bean (Phaseolus vulgaris) Based Analogue Ric. Pakistan Journal
of Nutrition. 15. 667-672. 10.3923/pjn.2016.667.672.
2) Deka
Prismawan, 050911063 (2013) Perbandingan Kadar Gula Pereduksi dan Indeks
Glikemik Sagu (Metroxylon sagu) dan Beras Merah (Oryza sativa). Skripsi thesis,
Universitas Airlangga.
3) https://glycemic-index.net/
4) Bintoro, Mochamad Hasjim, Potensi Sagu untuk Diversifikasi Bahan Pangan dalam Rangka Substitusi Impor, dipresentasikan dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Industri Agro, 22-23 Mei 2023 di Hotel Renaissance Bali Uluwatu