SAGU, KOMODITAS LOKAL YANG TERLUPAKAN

Oleh : Hamid Rizali Siregar (Pembina Industri Ahli Muda – Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian)

Sagu merupakan tanaman jenis palmae yang tersebar luas di Indonesia. Tanaman sagu sudah sejak lama dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia. Beberapa temuan sejarah menunjukkan pohon sagu telah dikenal dan dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia, termasuk di pulau Jawa, di masa lampau seperti ukiran pohon sagu yang terdapat pada relief candi borobudur. Beberapa Bahasa daerah juga dipercaya berasal dari sagu, seperti kata “sangu” pada Bahasa Sunda atau kata “sego” pada Bahasa Jawa yang asal mulanya diyakini berasal dari sagu. Sehingga kemungkinan di masa lampau sagu sesungguhnya merupakan komoditas yang umum dikenal oleh masyarakat sebagai pangan masayarakat Indonesia. Namun, pada perjalanannya keberadaan sagu tergantikan oleh beras yang sekarang ini lebih dikenal sebagai panganan pokok kita.

Saat ini isu pangan menjadi perhatian banyak negara karena diperkirakan ancaman krisis pangan bisa melanda banyak negara. Hal ini diakibatkan oleh kekhawatiran atas perubahan iklim yang dampaknya semakin dirasakan dan sulit untuk diprediksi. Selain itu, ketegangan geopolitik juga berakibat pada terganggunya pasokan beberapa komoditas pangan dunia dan menyebabkan harga pangan melambung, serta memicu krisis pangan global.

Kebutuhan tubuh atas karbohidrat berkisar 45-70 % per hari. Umumnya, asupan karbohidrat yang disarankan adalah sekitar 45% dari total kalori. Karbohidrat merupakan komponen penghasil energi yang cepat yang ketersediaanya banyak dijumpai di mana saja. Sumber karbohidrat yang utama adalah pati antara lain yang diperoleh dari beras, jagung, gandum, kacang-kacangan dan juga termasuk sagu.  Pati termasuk dalam karbohidrat kompleks sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna oleh tubuh dan yang paling penting adalah harganya relative murah/terjangkau. Bagi masyarakat Indonesia saat ini, pemenuhan karbohidrat diperoleh dari beras. Saat ini, 95 % pangan pokok Masyarakat Indonesia adalah beras, sementara sumber karbo lain mulai tersingkir termasuk sagu.

Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia diperkirakan mencapai 83,49 per kapita per tahun1) sedangakan untuk tepung terigu diperkirakan mencapai 2,43 per kapita per tahun1). Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri, Indonesia harus mengimpor beras dan gandum setiap tahunnya, tercatat impor beras sebanyak 407.741 ton2) dan sebanyak 11.172.000 ton3) gandum pada Tahun 2021.

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, urgensi untuk mendiversifikasi pangan utama seperti beras dan gandum menjadi penting. Diversifikasi tersebut tentunya harus berbasis pada sumber daya komoditas lokal yang tersedia di Indonesia sehingga selaras dengan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memuat bagian keenam yang didalamnya tercantum terkait penganekaragaman pangan, dimana Penganekaragaman Pangan merupakan upaya untuk meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya lokal. Dengan demikian, secara konstitusi upaya diversifikasi pangan merupakan tugas negara yang harus dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.


Sagu, komoditas lokal yang terlupakan

Sumber daya lokal yang sesungguhnya tersedia melimpah dan cenderung terlupakan adalah komoditas sagu. Panganan berbasis sagu memang lebih lazim untuk dijumpai di Kawasan Indonesia Timur, seperti papeda, kapurung dan masakan lokal lainnya. Namun demikian, sesungguhnya sagu memiliki potensi untuk mensubstitusi sumber kabohidrat dari beras atau gandum karena memiliki tingkat produktivitas pati yang relatif lebih tinggi dari tanaman pati lainnya. Produktivitas tanaman Sagu dapat mencapai 10-15 ton/Ha/thn, sedangakan tanaman padi sekitar 3 ton/Ha/thn, tanaman jagung sekitar 5 ton/Ha/thn, tanaman kentang 2,5 ton/Ha/thn, tanaman ubikayu 5-6 ton/Ha/thn dan tanaman ubi jalar sekitar 5,5 ton/Ha/thn.

Lahan tanaman sagu diperkirakan mencapai 5,5 juta Ha yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia seperti Papua, Maluku, Sumatera, Sulawesi, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Mentawai. Areal tersebut merupakan 80 persen dari distribusi tanaman sagu di dunia. Ekosistem tanaman sagu dapat ditemui di rawa-rawa, tepi sungai, lahan gambut, dan lahan basah di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Sebagian besar tanaman sagu tumbuh di lahan perhutanan, baru sedikit yang dibudidayakan. Sagu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah baik tanah, baik tanah subur, kurang subur bahkan toleran pada tanah dengan salinitas tinggi (rawa dekat laut). Tanaman sagu juga dapat tumbuh dengan berbagai jenis kondisi lingkungan bahkan toleran terhadap curah hujan yang tinggi dan musim kemarau yang panjang.  Tanaman sagu juga tidak memerlukan pemupukan maupun bahan kimia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dengan karakteristiknya tersebut, pohon sagu tumbuh subur dengan sendirinya di berbagai hutan di Indonesia. Masyarakat sekitar hanya tinggal memanen tanaman sagu untuk keperluan keseharian. 

Sebelum dimanfaatkan menjadi berbagai jenis panganan, batang sagu diolah terlebih dahulu menjadi pati sagu. Pati tersebut yang kemudian digunakan sebagai bahan pangan olahan. Kandungan pati dalam batang sagu mencapai sekitar 77,1 persen berat kering. Dalam satu batang pohon sagu yang siap panen dengan panjang 8,6 meter dan diameter batang 45,1 cm, dapat dihasilkan pati hingga 309,9 kg/batang.


Potensi ekonomi sagu

Dengan perhitungan sederhana, maka jika dalam 1 Ha lahan sagu dipanen hanya sebanyak 25-30 pohon saja maka didapatkan sebanyak 6,25 – 7,5 ton pati/Ha. Dengan demikian, potensi pati yang bisa dimanfaatkan bisa mencapai 41,25 Juta ton pati sagu/Tahun. 

Sagu sebagai sumber karbohidrat dapat mensubstitusi beras yang selama ini masih perlu dipenuhi melalui impor. Apabila 20 persen kebutuhan beras disubstitusi dengan sagu, dalam bentuk beras analog, maka hanya diperlukan sekitar 6 juta ton pati sagu atau setara dengan 20 juta pohon sagu atau setara dengan 800 ribu Ha lahan sagu dan dapat memotong sekitar USD 184 juta dari importasi beras.

Sagu juga berpotensi untuk mensubstitusi tepung terigu dengan tepung sagu modifikasi. Jika diasumsikan tepung sagu modifikasi bisa mensubstitusi 20 persen tepung terigu maka dibutuhkan 1,38 juta ton pati sagu atau setara dengan 4,6 juta pohon sagu atau setara dengan 184 ribu Ha lahan sagu dan dapat memotong sekitar USD 0,7 Miliar dari importasi gandum.

Selain itu, sagu juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Jika diasumsikan pati sagu basah dihargai sebesar Rp 2.500/kg, maka petani sagu bisa mendapatkan penerimaan hingga Rp10 juta setiap bulannya.


Tantangan Pengembangan

Potensi sagu sudah sejak lama disadari oleh berbagai pihak. Saat ini, beberapa pelaku usaha juga telah mengembangkan produk-produk berbasis sagu yang invoatif seperti mie instant sagu, beras analog sagu, gula sagu, hingga bahan bakar nabati dari turunan sagu. Namun demikian, dalam pengembangannya masih terkendala oleh beberapa faktor.

Sebagai produk makanan, sagu masih asing bagi masyarakat Indonesia. Saat ini, keberadaan beras sepertinya masih belum tergantikan oleh jenis lainnya. Selain rasanya yang sudah melekat pada lidah masyarakat, beras juga sering menjadi objek subsidi pemerintah dan termasuk ke dalam 12 komoditas makanan pokok. Saat ini, telah dikembangkan dan beredar di pasar beras analog, yang terbuat dari tepung sagu atau campuran dengan tepung beras. Namun, pamor beras analog masih belum bisa memenuhi selera masyarakat untuk menggantikan beras konvensional. Dari segi gizi beras analog sagu sesungguhnya memiliki kandungan karbohidrat yang setara dengan beras biasa, bahkan memiliki keunggulan dari sisi kesehatan yaitu gluten free, low Glikemiks index, dan High Resistance Starch Content.

Ketersediaan dan kontiuitas bahan baku menjadi salah satu faktor yang juga menghambat pengembangan produk turunan sagu. Hal ini terutama disebabkan oleh sumber bahan baku yang berada di lahan hutan masih memiliki jalur transportasi yang tidak memadai. Selain itu, kurangnya minat masyarakat untuk mengelola sagu serta keterbatasan sentuhan teknologi pasca panen tanaman sagu turut andil dalam menghambat penyediaan bahan baku industri sagu. 

Yang terakhir adalah masih terbatasnya pengetahuan teknologi pengelolaan sagu. Hal ini dikarenakan masih belum banyak pihak yang melirik untuk mengembangkan sagu. Efisiensi produksi sangat penting untuk produk sagu agar dapat bersaing dengan produk sejenis. Misalnya beras analog sagu yang saat ini dihargai sekitar Rp20.000 -28.000 per kg masih lebih mahal dibandingkan beras biasa dengan harga Rp12.550 per kg-nya, atau mie instant sagu yang dihargai Rp9.900 per cup masih jauh lebih mahal dengan mie instan lainnya yang dijual dengan harga Rp5.000 per cup.


Strategi Pengembangan

Strategi pengembangan industri sagu perlu dilakukan baik dari sisi permintaan dan dari sisi produksi. Di sisi permintaan diperlukan kampanye gemar makan sagu, sedemikian sehingga masyarakat Indonesia dapat terbiasa dengan komoditas yang satu ini. Sagu juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam komoditas bahan makanan pokok melengkapi kebutuhan karbohidrat masyarakat. Dengan demikian, sisi permintaan akan mendorong sisi supply sehingga menjadi lebih bergairah untuk meningkatkan produksinya.

Di sisi produksi, pengembanga harus dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir produksi. Di sisi produksi hulu, mengingat sagu merupakan komoditas yang memiliki kearifan lokal, maka perlu disusun strategi pengembanga nyang melibatkan masyarakat di dalamnya. Misalnya sistem kemitraan dengan industri, dengan demikian potensi ekonomi yang dimiliki sagu juga dapat dirasakan oleh masyarakat sekitas lahan sagu. Selain itu, diperlukan penataan dan pengaturan dalam hal pengelolaan budidaya lahan sagu yang bisa menaikkan minat masyarakat untuk mengusahakan komoditas sagu dan juga menjaga keberlanjutan ekonomi msayarakat dan juga lingkungan.

Di sisi produksi hilir, diperlukan sentuhan teknologi untuk mengefisienkan proses produksi, mulai dari pasca panen hingga produksi produk hilirnya. Selain itu, kerjasama riset dan teknologi perlu ditingkatkan tidak hanya pada pengembangan mesin produksi tetapi juga menciptakan produk-produk turunan sagu yang bernilai tambah tinggi.


Referensi

https://www.bps.go.id/indicator/5/2094/1/rata-rata-konsumsi-perkapita-seminggu-menurut-kelompok-padi-padian-per-kabupaten-kota.html, 26 Mei 2023 pukul 9.59 WIB, diolah

https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1043/impor-beras-menurut-negara-asal-utama-2000-2021.html, 26 Mei 2023 pukul 10.02 WIB

https://www.bps.go.id/statictable/2019/02/14/2016/impor-biji-gandum-dan-meslin-menurut-negara-asal-utama-2017-2020.html, 26 Mei 2023 pukul 10.05 WIB