Oleh : Laudetta
Dianne F (Sekretariat Direktorat Jenderal Industri Agro)
Industri
yang inklusif dan berkelanjutan adalah salah satu isu utama yang termasuk dalam
Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) Presidensi G20 di
tahun 2022. Pengembangan industri inklusif dan berkelanjutan ini juga merupakan
upaya untuk mencapai industri 4.0. Industri 4.0 erat kaitannya dengan aspek
lingkungan, sosial, dan tata kelola terstandar. Oleh karena itu, penerapan
Industri 4.0 mutlak diperlukan, termasuk di kawasan industri dalam rangka
meningkatkan produktivitas, daya saing, efisiensi energi dan sumber daya, serta
perlindungan terhadap lingkungan.
Indonesia
dan Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations
for Industrial Development/UNIDO) bekerja sama dalam usaha pengembangan
industri sektor manufaktur. Salah satu kerja sama yang saat ini dilakukan
antara Indonesia dengan UNIDO adalah meluncurkan proyek bertajuk Global
Eco-Industrial Park Programme (GEIPP). Program ini telah dimulai sejak tahun
2019 hingga tahun 2023 mendatang. GEIPP yang terdiri dari 2 komponen utama
yakni Country Interventions dan Global Knowledge Development
diharapkan dapat menghasilkan peraturan dan kebijakan terkait EIP,
pengimplementasian EIP pada pilot project, dan kolaborasi internasional untuk
mencapai pengembangan peralatan, kapasitas, dan keefektivitasan dalam EIP. Dalam
upaya mendukung program ini, maka Kementerian Perindustrian selaku focal
point penggerak mengkoordinir Kementerian/Lembaga lain yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dalam usaha pembentukan Kawasan Industri
Berwawasan Lingkungan (Eco Industrial Park/EIP).
Dalam
pembentukan kawasan industri berwawasan lingkungan perlu memperhatikan komponen
pembentuk EIP. Menurut Prof. Dr. Ir. Purwanto, DEA, terdapat 5 komponen utama
dari EIP:
1.
Layanan dan tata kelola manajemen kawasan
2.
Efisiensi sumberdaya da produksi yang lebih bersih
3.
Sinergi industri dan infrastruktur
4.
Angkatan kerja sehat terintegrasi dan sinergi industri perkotaan
5.
Perencanaan dan zonasi ruang
Pengembangan
EIP juga memiliki sejumlah tantangan dan peluang:
1.
Aspek Lingkungan
2.
Aspek Manajemen
3.
Aspek Sosial
4.
Aspek Ekonomi
Keempat
aspek inilah yang menjadi fokus utama dalam kerangka kerja pembangunan EIP
dengan percepatan dalam 2 fase yaitu Fase 1 (tahun 2020-2023) dan Fase 2 (tahun
2024-2027).
Dalam
pelaksanaan kerangka kerja ini, juga dilakukan pemetaan kapasitas lembaga dan
penyedia layanan pengembangan EIP, penguatan institusi nasional yang terlibat,
peningkatan kapasitas KI dan tenant UKM untuk pemenuhan standar EIP.
Keputusan
Menteri Nomor 3174 Tahun 2022
Sehubungan
dengan hal inilah Menteri Perindustrian Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan
Menteri Nomor 3174 Tahun 2022 terkait forum antar kementerian untuk percepatan
pengembangan Eco Industrial Park (EIP) serta pelaksanaan Global Eco-Industrial
Parks Program – Indonesia Country – Level Intervention. Forum ini diharapkan
dapat menghasilkan masukan, rumusan atau konsep EIP kawasan industri di
Indonesia. Selain itu tujuan dari pelaksanaan forum ini adalah untuk memberikan
pedoman bagi pemangku kepentingan dalam memetakan kawasan industri berwawasan
lingkungan sesuai bidang tugas dari Kementerian/Lembaga yang terlibat.
Percepatan
pengembangan Eco Industrial Park (EIP) ini sesuai dengan RIPIN 2025. Persebaran
Kawasan Industri (KI) di Indonesia menunjukkan 138 KI memiliki IUKI (Mei 2022).
Dari total lahan seluas 67.992 Ha, total lahan terisi sekitar 30.464 Ha (45%)
dan total lahan belum terisi seluas 37.528 Ha (55%). Total lahan yang belum
terisi ini termasuk area lahan siap bangun, lahan yang dimatangkan dan lahan
dalam tahap konstruksi.
Direktur
Jenderal KPAII menjelaskan pentingnya implementasi penerapan ekonomi sirkular
dalam kawasan industri. Sistem loop tertutup ini adalah upaya untuk
meningkatkan produktivitas dengan menggunakan lebih sedikit sumber daya,
dikarenakan adanya pengelolaan sumber daya yang efektif.
Forum
antar Kementerian EIP
Forum
antar Kementerian EIP bertujuan untuk melakukan persiapan, perencanaan,
pengelolaan dan peyelenggaraan segala hal yang berkaitan dengan Percepatan
Pengembangan KI Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Keanggotaan forum ini
terdiri dari tim pengarah (diketuai oleh Menteri Perindustrian) dan tim
pelaksana (diketuai oleh Dirjen KPAII). Forum ini bertugas selama 5 tahun dan
melakukan rapat koordinasi sedikitnya 2 kali setahun, serta memberi laporan
tertulis pada Menteri Perindustrian satu tahun sekali. Sumber dana dari Forum
Antar Kementerian berasal dari APBN Kementerian Perindustrian, anggaran kerja
sama dengan UNIDO, dan sumber dana lain yang sah sesuai perundang-undangan.
11 K/L
yang terlibat dan diberikan SK dalam Forum Antar Kementerian:
1. Kementerian Koordinator Bid. Perekonomian
2. Kementerian Perindustrian
3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
4. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
5. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
6. Kementerian Agraria dan Tata Ruang
7. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
8. Kementerian Dalam Negeri
9. Kementerian Investasi
10. Kementerian Keuangan
11. Kementerian Ketenagakerjaan
Koordinasi
Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang
Pada
triwulan III 2022, perekonomian Indonesia bertumbuh hingga 5,72% (yoy) dengan
industri pengolahan sebagai sumber pertumbuhan tertinggi hingga 0,99%.
Berdasarkan laporan Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness
Yearbook 2022, peringkat daya saing Indonesia tahun 2022 di nomor 44 dari 63
negara, menurun dari peringkat tahun 2021 pada nomor 37. Oleh karena itu,
pengembangan EIP diharapkan menjadi pendorong peningkatan daya saing Indonesia.
Dari
131 Kawasan Industri Indonesia, 17 KI termasuk dalam Proyek Strategis Nasional
(PSN). Untuk pengembangan EIP inilah diperlukan kebijakan dalam aspek perizinan
dan perencanaan, tata ruang dan lahan, infrastruktur, iklim usaha, serta
penyebaran dan pemerataan industri. Proyek Strategis Nasional disebarkan ke
seluruh Indonesia untuk mendukung pusat ekonomi baru yang berkelanjutan seperti
pembangunan KI Hijau di KI Tanah Kuning, Kalimantan Utara dan proyek KIT
Batang, Jawa Tengah.
Konservasi
dan audit energi untuk pengembangan Kawasan EIP
Konsumsi
energi primer Indonesia selama tahun 2021 mencapai 1.485juta SBM (tidak
termasuk biomassa) dan konsumsi energi final sebesar 849juta SBM. Usaha
penurunan intensitas energi dilakukan dengan kebijakan konservasi energi dan dan
manajemen energi sesuai standar. Hingga tahun 2022, telah terdapat 6 bangunan,
52 perusahaan energi, 91 sektor industri dan 149 perusahaan yang memenuhi
standar ISO 50001.
Dari
sekian industri yang bersertifikat ISO 50001, terdapat 26 industri sektor makanan
minuman, 17 industri manufaktur, dan 19 industri agro dan kertas. Penilaian standarisasi industri ini dapat
melibatkan manajer dan auditor energi yang tersertifikasi oleh lembaga
sertifikasi profesi manajer dan auditor energi untuk kemudian melakukan
pendataan pada Sistem Informasi Konservasi Energi (SINERGI).
Insentif
fiskal dan dukungan pengelolaan dan pembiayaan infrastruktur bagi EIP.
Indonesia
rentan terhadap dampak perubahan iklim yang tentu juga menjadi tantangan dalam perkembangan
industri di Indonesia. Hal inilah yang melatarbelakangi pembentukan kawasan
industri yang berwawasan lingkungan karena erat kaitannya dengan usaha
Indonesia dalam hal penurunan GRK/emisi karbon dan perubahan iklim. Terdapat
beberapa fasilitas fiskal untuk sektor manufaktur, seperti fasilitas perpajakan
sektoral/umum, fasilitas perpajakan kawasan, fasilitas tax holiday, fasilitas
tax allowance, insentif, super deduction, insentif untuk kegiatan vokasi,
fasilitas investment allowance untuk industri padat karya, fasilitas pembebasan
PPN atas barang modal dan fasilitas bea masuk penanaman modal.
Fasilitas
fiskal untuk Kawasan Industri diberikan fasilitas perpajakan seperti pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan kepabeanan. Pemberian fasilitas
fiskal ini dibagi berdasarkan tingkatan Wilayah Pengembangan Industri (WPI)
yang terbagi dalam 4 kelas yaitu WPI Maju, WPI Berkembang, WPI Potensial I, WPI
Potensial II.
Meskipun
memiliki banyak keunggulan, pembentukan Eco-Industrial Park ini juga memiliki
sejumlah tantangan dan resiko. Salah satu diantaranya adalah terdapat potensi
dari sampah plastik dan kertas, serta potensi timbulan limbah B3 dalam
industri. Oleh karena itu, terdapat konsep ekonomi sirkular dalam pengelolaan
sampah untuk mencapai pemanfaatan sumber daya yang efektif, efisien, dan ramah
lingkungan. Dalam pengolahan sampah tersebut, diharapkan juga dilakukannya uji
coba pemanfaatan limbah B3.
Dengan
kerja sama antar Kementerian terkait, diharapkan percepatan pengembangan Eco
Industrial Park (EIP) ini dapat berjalan dengan efektif. Pada akhirnya,
keberhasilan dari pengembangan Eco Industrial Park (EIP) ini membutuhkan
kebijakan dan tata kelola yang baik dari masing-masing stakeholders. Dalam hal
ini, Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga berfungsi sebagai pembuat kebijakan
yang selaras dan mendukung pembentukan Kawasan Industri berwawasan lingkungan,
pelaku industri sebagai pembangun dan pengelola kawasan industri, serta pihak
lain yang berkepentingan. Kerja sama ini diharapkan akan mampu menjadikan
kawasan industri tersebut sebagai Smart Eco-Industrial Park yang terintegrasi
dan terkelola dengan maksimal.