KONVERSI LPG KE LISTRIK, BAGAIMANA DAMPAK BAGI MASYARAKAT DAN INDUSTRI

Oleh : Aditya Bambang Pamungkas (Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar - Kementerian Perindustrian)

Usulan wacana penggantian penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke kompor listrik saat ini sedang ramai dikampanyekan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersama Pemerintah. Kampanye serta kajian peralihan ini bukan tanpa dasar, tujuan utamanya untuk menekan beban subsidi yang makin melebar akibat fluktuasi harga minyak mentah dunia. Selain itu juga pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan impor LPG, selama ini 65 persen LPG yang digunakan di Indonesia berasal dari Impor. Pada 2024 mendatang, diperkirakan Indonesia akan mengalami peningkatan kebutuhan impor LPG sebesar Rp 67,8 triliun.

Manfaat perubahan penggunaan LPG ke Kompor Listrik tentu akan langsung terasa. Negara akan lebih berhemat karena berkurangnya subsidi LPG dan tidak lagi bergantung pada impor, ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi untuk mengubah energi berbasis impor ke energi berbasis domestik. Pemanfaatan penggunaan energi dalam negeri harus diutamakan salah satunya dengan mengganti elpiji ke kompor induksi. Sederet manfaat ini terkesan hanya menguntungkan pemerintah dan PLN yang saat ini sedang mengalami surplus energi. 

Apakah benar demikian? Bagaimana nasib masyarakat dan industri jika harus beralih menggunakan kompor listrik? Dan apa yang harus pemerintah lakukan untuk menyukseskan program peralihan LPG ke Kompor Listrik?



Dilema Bagi Masyarakat

Saat ini belum ditemukan teknologi kompor induksi dengan daya yang relatif rendah. Kompor Induksi hanya bisa digunakan pada daya 1.300 VA, sedangkan kebanyakan rumah tangga di Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah menggunakan daya 450 VA atau 900 VA. Ini berarti masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah akan sulit melakukan peralihan penggunaan LPG ke Kompor Listrik.

Banyak masyarakat yang mungkin khawatir tagihan listrik mereka akan membengkak dan kehilangan subsidi dari pemerintah. Meskipun nantinya keseluruhan energi harus beralih ke listrik dan pemerintah bersama PLN sedang mengusahakan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara maksimal untuk menggantikan pembangkit energi bertenaga fosil. Kompor listrik juga mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari banyak energi lain di Indonesia seperti fosil maupun batu bara, peralihan ini juga akan berdampak pada pengurangan polusi udara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Meski begitu, tidak seharusnya masyarakat dipaksa menjalani program padahal mereka tidak memiliki daya beli yang mumpuni.

Pengaruh Bagi Industri

Dorongan penggunaan kompor induksi maupun kendaraan listrik sudah menjadi kepentingan dan tujuan pemerintah beberapa tahun belakangan. Selain menguntungkan dari segi penghemetan APBN, alasan lain adalah efesiensi energi karena PLN sedang gencar merealisasi megaproyek 35.000 MW. Pada tahun 2021, pembangkit-pembangkit listrik tersebut sudah mulai berproduksi. 

Berdasarkan data Alokasi Gas Bumi pada tahun 2012, terdapat 5 Industri pengguna gas terbesar di Indonesia yaitu; Industri Pupuk, Industri Keramik, Industri Gelas, Industri Kaca, dan Industri Makanan. Dari banyak Industri, Penggunaan gas alam saat ini mencapai 1720,9 juta standar kaki kubik perhari (MMFSCD) dari total pemanfaatan gas domestik sebesar 4509,3 MMFSCD, konsumsi gas sektor industri sudah sangat besar. Namun jumlah yang sedemikian besar itu belumlah cukup memenuhi kebutuhan industri. Sektor industri menghadapi kekurangan pasokan gas sebesar 1629 MMSCF. Untuk mengatasi hal tersebut, program peralihan ini menjadi semacam angin segar bagi industri.

Kekurangan sumber energi gas dalam sektor industri menuntut penyelesaian dengan jalan penyediaan sumber energi baru berupa batubara dan biofuel, namun kita tahu bahwa batu bara merupakan penyumbang emisi terbesar di dunia dan sumber energi ini akan habis, dikutip dari CNBC, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan bisa habis sekitar 2040, terutama karena tidak ada eksplorasi baru. Biofuel pun demikian, pemanfaat sumber energi dari tumbuhan dan hewan tidak akan bisa menggantikan pemanfaatan EBT sebagai energi masa depan Indonesia.

Bagi Industri, peralihan penggunaan Gas ke Kompor Listrik bisa menjadi kesempatan untuk mengurangi biaya dari sisi penggunaan, kompor induksi lebih murah dibandingkan dengan kompor LPG. Hasil uji coba menunjukkan, rumah tangga kecil rata-rata mengkonsumsi 11,4 kg LPG subsidi dengan biaya Rp 79.400 per bulan setelah disubsidi pemerintah sebesar Rp 125.400. Sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk memasak menggunakan LPG mencapai Rp 204.800 per bulan.

Sedangkan harga listrik tanpa subsidi 1 kWh adalah Rp 1.444,7. Kebutuhan listrik per bulan menggunakan kompor induksi sebesar 82 kWh. Dengan begitu biaya yang dibutuhkan untuk masak per bulan menggunakan kompor induksi tanpa subsidi sebesar Rp 118.465 sehingga terdapat penghematan sekitar Rp 86.335 setiap bulan. Menggunakan kompor induksi pun dinilai jauh lebih aman sebab tidak ada risiko kebocoran gas yang dapat menjadi pemicu kebakaran.



Apa yang Harus Pemerintah Lakukan

Pemerintah diharapkan untuk tidak tergesa-gesa dalam menjalankan program peralihan ini. Direktur Riset Center of Reform Economic CORE, Piter Abdullah justru meminta kepada pemerintah dan PLN untuk tidak gegabah melakukan peralihan penggunaan LPG 3 kg ke kompor induksi. Ia menilai Infrastruktur di Indonesia belum memadai. Listrik masih terasa mahal dan kebanyakan masyarakat tidak mampu untuk membeli kompor dan juga listriknya.

Dari fenomena tersebut, pemerintah justru akan menambah subsidi baru, meski bukan untuk LPG, pemerintah harus memberi subsidi pada rumah tangga dengan daya listrik 450 VA dan 900 VA untuk upgrade ke daya 1.300 VA secara gratis. Selain itu pemerintah harus mau memberikan secara gratis pula kompor listrik kepada masyarakat kecil, ini sama seperti program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg pada tahun 2006, saat itu pemerintah menyediakan kompor dan tabung gas secara gratis. Jadi pada program ini, pemerintah juga harus menyiapkan infrastrukturnya dengan menaikkan daya dan memberikan perlengkapan kompor listrik kepada masyarakat menengah ke bawah.

Program konversi dari kompor LPG ke kompor induksi yang diusung oleh PLN bersama pemerintah tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan permintaan listrik atau pun memangkas defisit neraca perdagangan. Program ini bisa menjadi jalan alternatif untuk dapat menyelesaikan permasalahan subsidi energi yang selama ini dinilai kurang tepat sasaran. Meski begitu, pemerintah dan PLN jangan hanya mengandalkan kampanye kelebihan penggunaan kompor listrik tanpa meningkatkan infrastruktur dan daya beli bagi keseluruhan lapisan masyarakat.