Oleh : Muhammad Rizky Sadif (JFT Pembina Industri Ahli Muda)
Beberapa waktu terakhir ini, di berbagai media nasional diramaikan oleh isu melambungnya harga jagung khususnya sebagai komoditas pakan hewan ternak yang tengah menjadi sorotan publik. Hal ini menjadi buah bibir setelah seorang peternak ayam dari Kabupaten Blitar Jawa Timur bernama Suroto melakukan aksi bentang poster pada saat konvoi kunjungan Presiden Joko Widodo di Blitar pada awal September lalu. Suroto melakukan aksinya karena mengeluhkan tentang mahal harga jagung dan jatuhnya harga telur sehingga menyebabkan para peternak khususnya di Kabupaten Blitar mengalami kerugian yang tidak sedikit sampai banyak di antara mereka yang harus berhutang bahkan sampai menjual aset-asetnya guna keberlangsungan usaha.
Kontradiksi Data
Kondisi para peternak ayam di Kabupaten Blitar memang jauh dari kata menggembirakan dan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka banyak diantara mereka akan berada di ambang kebangkrutan, hidup segan mati tak mau. Banyak para peternak di Kabupaten Blitar yang merupakan peternak kecil dengan populasi ayam yang dipelihara masih di bawah 10.000 ekor, dengan kondisi harga jagung yang saat ini sebesar Rp 6.500 per kilogram naik kurang lebih 30% dari harga normalnya yang sebesar Rp. 4.500 per kilogram, serta harga jual telur Rp 13.700 per kilogram akan menimbulkan kerugian sekitar Rp. 1 juta per hari. Dengan harga jagung Rp 6.500 per kilogram, idealnya harga jual telur dari kandang peternak di atas Rp 20.000 per kilogram.
Di sisi lain, Wakil Menteri Pertanian Harfiq Hasnul Qolbi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR-RI pada Senin 20 September 2021 menyatakan bahwa stok jagung lokal hingga minggu kedua September 2021 dalam keadaan “surplus dan aman” di angka 2,37 juta ton. Namun demikian Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan bahwa jika stok jagung lokal melimpah maka harga komoditas jagung tidak akan melonjak seperti saat ini.
Anomali Situasi
Sepertinya terdapat anomali jika ditinjau dari sudut pandang teori supply and demand dalam hukum ekonomi. Dalam kondisi normal ketika terjadi overstock atau oversupply seperti yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Pertanian maka seharusnya harga akan terkerek turun sampai pada titik ekuilibrium antara sisi supply dan sisi demand. Hal ini menarik untuk dicermati serta ditemukan faktor-faktor yang menimbulkan keadaan ini, agar titik temu penanganan masalah ini segera dapat dilakukan.
Harus diakui bahwa dampak besar akibat pandemi Covid-19 turut membawa andil terhadap jatuhnya harga komoditas telur dan unggas. Mengapa demikian? Daya beli yang merosot mengakibatkan hilangnya permintaan terhadap komoditas tersebut. Kita sama-sama mengetahui kebjiakan PPKM darurat yang baru akhir-akhir ini dilonggarkan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 yang diterapkan hampir di seluruh wilayah nusantara membuat kontraksi pada sisi demand karena berlangsung dalam periode yang cukup lama.
Banyak dari usaha-usaha seperti restoran yang baru dapat dibuka dalam kapasitas yang terbatas. Perhotelan juga baru akhir-akhir ini dibuka namun belum banyak menerima tamu. Demikian pula usaha katering yang berhenti, serta acara-acara masyarakat dan perkantoran juga sebagian besar masih belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Jadi, ada potensi permintaan yang besar hilang dalam beberapa bulan terakhir dan mengakibatkan harga yang diterima oleh peternak telur terkontraksi.
Di sisi lain, komoditas jagung sebagai bahan baku untuk pakan ternak mengalami lonjakan harga yang tinggi. Perlu diketahui bahwa jika dilihat dari data produksi panen jagung nasional pada bulan Januari sampai dengan Maret 2021 terjadi surplus atau jumlah panen lebih banyak dari jumlah yang dibutuhkan kurang lebih 2,5 hingga 3 juta ton, dengan harga “wajar” pada kisaran Rp. 4.000 – Rp. 4.500,-. Tetapi kemudian terjadi “titik keseimbangan negatif” yang artinya jumlah kebutuhan lebih besar daripada jumlah produksi terjadi pada bulan-bulan selanjutnya. Pada bulan September ini merupakan salah satu titik defisit terbesar yang mencapai kurang lebih 300 ribu ton.
Titik Temu Keseimbangan
Solusi cerdas dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini dari kedua sisi, baik dari sisi petani jagung maupun sisi peternak unggas memang perlu dilakukan. Sebagai solusi jangka pendek pemerintah perlu melakukan intervensi pasar untuk menstabilkan harga jual jagung dan mengembalikannya kepada “harga wajar” yang mampu memuaskan baik petani jagung maupun peternak unggas. Keran impor juga bisa dijadikan salah satu solusi alternative, tentu dalam batas yang rasional dalam menambah pasokan jagung untuk pakan ternak dalam negeri agar dapat menurunkan harga.
Namun demikian dalam jangka panjang, pemerintah perlu melakukan pemetaan yang lebih akurat lagi. Jika terdapat surplus, harus sampai mengetahui surplus tersebut ada di daerah mana, ada di gudang mana, dalam kondisi bagaimana dan bagaimana mengangkut ke sentra-sentra produksi. Di samping itu, pemerintah perlu mendorong investasi baru di sektor industri tepung telur agar jika terdapat situasi oversupply, kelebihan tersebut dapat segera diserap oleh industri.
Memang hal-hal yang disampaikan di atas merupakan tantangan dalam sistem agribisnis nasional antara komoditas jagung di satu sisi dan komoditas unggas dan telur di sisi lainnya yang belum berada dalam situasi yang link and match. Namun demikan jika hal-hal tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin sektor ini akan membawa multiplier-effect yang berkesinambungan pada sektor-sektor lainnya.